Friday, 25 June 2010

Cerita Tentang Seorang Awang H. Satyana

Dalam dunia geologi dan petroleum indonesia bahkan dunia, pasti sering sekali kita dengar yang namanya Awang Harun Satyana, beliau adalah seorang senior geologist yang sangat disegani di negeri ini. saat ini beliau mengabdikan diri di BP MIGAS. saya pribadi dari awal kuliah, hanya tahu dari namanya saja lewat jurnal-jurnal yang ditulis beliau dan beberapa informasi dari dunia maya (internet maksudnya). Sejak dulu saya sangat ingin bertemu dengan beliau ini, maklum rasa penasaran ini masih tersimpan terus karena saya hanya sebagai mahasiswa yang sedang belajar geoscience di tempat yang agak jauh dari pusat ilmu itu (Daerah Barat). Setelah saya mencoba browsing tentang profil beliau, akhirnya menemukan Blog dari seorang teman (Aveliansyah Blog) yang menjelaskan profil dari beliau. Dari cerita tentang beliau, sungguh dedikasi tinggi tentang ilmu yang ditekuni sekarang. Apalagi yang saya pikir orang yang sangat hebat di di dunia geoscience ini tenyata hanyalah seorang lulusan S1, tapi ilmunya tidak kalah dengan para profesor. Jadi ini bisa jadi motivasi buat kita semua, kalau ilmu itu tidak ditentukan dari tingkatannya, akan tetapi dari kemauan seseorang untuk belajar tentang apa yang dia tekuni.

Pak Awang bercerita."

Saya ingin berbagi cerita sedikit. Semoga tak terlalu menyita waktu rekan-rekan Geo-Unpad yang mau membacanya. Saya menyukai kedokteran dan geologi sejak saya duduk di SMP. Buku-buku kedokteran dan geologi sudah saya kumpulkan sejak kelas 3 SMP, tahun 1979, tahun saat saya memulai membangun perpustakaan pribadi. Setiap minggu dengan uang saku sisa seadanya saya biasa membeli buku-buku bekas di pedagang loak Pasar Cihapit. Di kios-kios buku loak itu saya suka bertemu dengan Prof. G.A. de Neve, geologist Belanda berbadan besar. Di situ pula saya temukan buku-buku geologi van Bemmelen, Henry Brouwer, Umbgrove, Katili, dll. Buku2 kedokteran setebal 10 cm pun saya membelinya sebagai persiapan kalau-kalau saya jadi mahasiswa kedokteran. Tentu untuk membeli semua buku itu saya harus menabung dulu beberapa minggu.

Akhirnya, saat saya duduk SMA terkumpulah 2000 buku macam-macam. Buku-buku geologi loakan itu saya sering lihat-lihat. Dari SMP pun saya suka bermain ke museum geologi yang tak jauh dari rumah. Betapa menariknya geologi ! Saat tes masuk perguruan tinggi, saya tentu memilih Kedokteran dan Geologi, dua-duanya di Unpad. Mengapa saya tak memilih geologi di ITB ? Sebab dalam pandangan saya saat itu, lulusan geologi ITB akan jadi insinyur teknik geologi, sesuatu yang saya tak inginkan sebab saya ingin menjadi seorang ilmuwan geologi. Maka saya memilih geologi Unpad yang bernaung di bawah Fakultas MIPA, tentu bernuansa lebih ilmiah dan bukan teknik. Ternyata, baik geologi ITB maupun geologi Unpad sama saja, lulusan geologi Unpad pun saat saya lulus gelarnya insinyur pula. Lalu, saya gagal masuk kedokteran Unpad dan diterima di geologi Unpad.

Tahun 1983 saat itu. Karena menjadi dokter adalah cita-cita saya sejak kecil, saya mencoba masuk kedokteran Maranatha, diterima dan sempat kuliah satu tahun, kemudian diputuskan keluar karena biaya. Tahun 1984 saya mencoba lagi masuk kedokteran Unpad, gagal lagi, ya sudah, cita-cita menjadi dokter saya kubur. Saya ingin bertekun di geologi saja. Selama tahun1983-1988 saya kuliah geologi di dua tempat : satu di kampus (formal), satu di perpustakaan P3G (informal). Di kampus saya mendapatkan pendidikan dari bapak-bapak dosen, di perpustakaan geologi saya belajar geologi dari laporan-laporan, jurnal-jurnal, dan banyak lainnya. Pulang dari perpustakaan saya selalu mampir ke museum agar hafal ini batu ini, itu batu itu. Para petugas perpusatakaan P3G tahun 1983-1988 adalah orang-orang yang sangat berjasa buat saya (Bu Polhaupessy, Pak Ade, Pak Anton, Eutik, Teh Ani, dll…) yang tak bosan melihat saya hampir setiap hari berjam-jam di situ selama bertahun-tahun. Kalau bekerja di perpustakaan, saya pasti mencatat banyak hal penting dari bahan yang saya pelajari. Catatan-catatan di kertas bekas itu kalau ditumpuk ada satu meter tingginya. Lulus sekolah Februari 1989, saya mengirimkan surat lamaran ke 40 perusahaan dan instansi. Yang menjawab hanya empat : tak ada lowongan ! Selama setahun saya mencari pekerjaan ke sana-sini sambil bekerja paruh waktu di sebuah konsutan pertambangan di Bandung. Saya membentuk kelompok bahasa Inggris dengan teman-teman yang bertemu seminggu sekali sambil bertukar info soal bursa pekerjaan. Kelompok kecil ini kemudian ternyata sangat membantu saya saat tes wawancara dengan perusahaan yang memanggil saya.

Di ujung 1989, kesempatan datang dan saya dapat memanfaatkannya dengan baik. Saya lulus tes masuk P3G, juga lulus tes masuk Pertamina. Saya melamar ke P3G karena ingin melanjutkan sekolah sebab saat itu di P3G banyak sekali doktornya. Melamar ke Pertamina karena saya ingin dapat gaji yang lumayan. Bingung saya memutuskan, masuk ke P3G atau Pertamina ? Di P3G, saya punya banyak teman senior baik yang master maupun doktor, itu karena saya rajin ke P3G dan memberanikan diri mengobrol dengan mereka. Satu per satu saya tanya, saya mesti masuk ke mana, P3G atau Pertamina ? Jawaban sekian banyak ahli itu : jangan masuk P3G, duitnya sedikit, kesempatan sekolah pun sedang jarang (begitu kira-kira jawabannya). Maka, saya bulatkan masuk Pertamina saja. Di Pertamina tahun 1990-1997 saya sibuk sebagai seorang exploration geologist. Tahun 1991 dibuka kesempatan sekolah S2 (lalu S3), saya terpilih untuk ikut tes, datang dari Balikpapan ke Jakarta, bersaing dengan sekian belas teman2 Pertamina lain. Pulang ke Balikpapan saya diberitahukan bahwa saya tidak lulus, katanya gagal di wawancara sebab yang diperlukan adalah orang yang senang riset 100 % (saya menjawab saat wawancara saya suka riset 50 % dan operasi lapangan 50 %). Apakah hanya itu kriteria kelulusan ? Saya tidak yakin…, tetapi sudahlah, saya akan tetap mencintai geologi meskipun tidak sebagai S2 apalagi S3.

Lima tahun karier awal saya ternyata pekerjaannya serabutan dan kebanyakan pergi ke lapangan. Studi-studi geologi semakin jauh dari saya. Terus terang, saat itu saya mengiri kepada teman-teman yang ditempatkan di bagian studi geologi yang sering berdiskusi dengan ahli2 geologi S3 dari ITB atau LIPI atau tempat lain sebagai konsultan studi2 Pertamina. sementara saya, jauh di lapangan, di tengah hutan menjaga sumur2 sebagai wellsite geologist. Tetapi, saya selalu ingat kata-kata ini, kata2 yang saya temukan di lembar pertama skripsi Pak Ildrem Syafri yang saya panggil Uda Ildrem : “Lebih baik menyusul dengan diam-diam daripada membuang waktu dengan iri hati kepada orang yang berjalan di depan.”.Maka, hari-hari saya penuhi dengan belajar dan belajar, hari-hari saya penuhi dengan menulis dan menulis. Tahun 1993 saya mulai menulis paper yang saya kirimkan ke PIT IAGI atau IPA; dan sejak itu saya tak bisa lagi berhenti belajar dan menulis. Saya menulis banyak hal dalam geologi sebab saya belajar banyak hal dalam geologi. Saya tetap menulis meskipun saya bukan seorang S2 atau S3, bukan seorang yang bekerja di lembaga riset, bukan seorang yang bekerja di perguruan tinggi.

Saya menulis bukan untuk mengejar nilai kum, tetapi saya menulis karena mencintai geologi dan ingin menyampaikan pikiran saya kepada khalayak ramai. Teman-teman saya yang master dan doktor di Pertamina, yang dulu sama-sama waktu tes untuk S2 dan S3 (mereka berhasil sementara saya gagal) saya amati terus publikasinya, ternyata publikasi saya jauh lebih banyak…Saya beranikan meneliti dan menulis meskipun isinya bisa bersinggungan atau mungkin ditertawakan doktor-doktor ahlinya. Lalu, tahun 1997-2000 saya dipindahkan ke JOB Santa Fe-Salawati joint antara Pertamina dan Santa Fe untuk mengerjakan Cekungan Salawati. Inilah periode yang berharga untuk saya melakukan banyak studi secara mandiri. Saya belajar dan berbuat (learning by doing). Berbagai macam studi saya lakukan di sini, mulai dari geokimia sampai struktur. Semua studi bukan diinstruksikan dari atasan, tetapi atas keinginan sendiri. Ada sekitar tujuh volume laporan studi selama empat tahun yang produktif itu. Studi-studi itu telah sangat membantu saya memahami petroleum geology secara terintegrasi. Saya makin percaya : no pain no gain. Saya juga percaya bahwa tak ada yang sulit dalam hidup ini asal mau berikhtiar, berusaha, dan ulet. Menjelang tahun 2000 dan sesudahnya mulai banyak teman yang mengambil sekolah S2, baik dibiayai perusahaan maupun biaya sendiri. Dosen2 dari ITB datang ke kantor seminggu sekali mengajari mereka. Saya tak berminat mengambilnya, saya sudah lama belajar sendiri di perpustakaan saya yang saat itu sudah hampir 5000 koleksi buku-bukunya tak termasuk ribuan paper geologi. Mengambil sekolah lagi ibarat merasa mengkhianati diri sendiri yang sudah bersumpah otodidak. Tahun 2000 saya dipindahkan ke Pertamina MPS (manajelem production sharing – asal muasal BPMIGAS sekarang). Di sini sama sekali bukan tempat riset, bukan tempat melakukan studi-studi geologi, dan sejenisnya, tetapi tempat mengawasi dan mengkoordinasi kegiatan-kegiatan yang dilakukan kontraktor2 perminyakan Indonesia. Banyak orang bilang bahwa di Pertamina MPS kemampuan teknis kita akan berkurang dan hilang sebab kemampuan kita tak dipakai lagi, tak mengerjakan studi lagi, hanya menilai. Benarkah begitu ? Mungkin ya mungkin tidak. Tetapi yang jelas justru di Pertamina MPS-BPMIGAS lah kecintaan saya kepada geologi makin menjadi sebab saya dikelilingi sedemikian banyak data dari seluruh Indonesia. Saya juga menerima laporan studi ini studi itu. Maka lebih dari setengah jumlah total publikasi saya, saya tulis di Pertamina MPS-BPMIGAS.

Saat ini jumlah total publikasi saya sudah 139 (56 paper untuk berbagai pertemuan nasional dan internasonal, 23 artikel untuk jurnal dalam dan luar negeri, 6 bab di dalam enam buku, 24 presentasi undangan dan pidato kunci, 21 kuliah umum/tamu di berbagai perguruan tinggi, dan 9 buku manual kursus untuk profesional) . Semua saya tulis atas nama cinta saya kepada geologi dan pengabdian saya kepada masyarakat geologi dan masyarakat awam. Tidak ada satu pun daripadanya yang saya tulis untuk mengejar kum sebab saya bukan dosen dan bukan peneliti di lembaga riset; dan tidak ada satu pun yang saya tulis untuk mengejar salary geology. Kini, di perpustakaan saya di rumah, saya dikepung oleh hampir 6500 buku. Buku-buku yang telah saya kumpulkan dari tahun 1979, hampir 30 tahun yang lalu. Itulah sekolah saya, sekolah tanpa teman, tanpa gelar, tanpa kelulusan, tetapi dengan ribuan dosen-dosen hebat yang bisa saya tanya kapan saja baik tengah malam maupun dini hari. Ujiannya adalah membuat paper-paper dan mempresentasikannya . Akan ada pertentangan yang hebat dalam diri saya kalau saya mengambil sekolah lagi, itu ibarat mengkhinati diri sendiri yang sudah bersumpah “otodidak”. Hampir 20 tahun otodidak, tak gampang “mengkhianatinya” . Suatu hari saya duduk bersebelahan dengan Prof. Robert Hall, ahli tektonik SE Asia yang terkenal itu, di dalam sebuah pertemuan internasional. Saya dan Prof. Hall sama-sama presentasi tektonik Jawa Tengah. Kami berbagi kartu nama dan Prof. Hall langsung berkomentar demi melihat institusi saya (BPMIGAS), “you did your research as a hobby, didn’t you ?” Ya, semuanya karena hobi, seperti juga yang Pak Herman lakukan.

Saya sudah menemukan kecintaan saya dalam geologi. Apakah keahlian geologi bisa dijadikan uang ? Tentu saja ! Tetapi bukan itu perhatian saya yang utama, uang akan mengikuti kita apabila kita punya magnet untuk menariknya. Magnet itu bernama keahlian. Saya ingin mengatakan kepada para junior saya : besarkan dulu keahlian geologimu, uang akan mengikutinya apabila keahlian itu sudah menjadi magnet Jangan membuatnya terbalik. 

salam,awang

Alhamdulillah, setelah sekian tahun saya hanya mendengar namanya saya, di tahun ini dapat bertemu langsung dengan beliau di The 34th IPA Annual Convention and Exhibition yang saat itu saya sedang diberi kesempatan menjadi student volunteer. Semoga ini bisa jadi motivasi untuk kedepannya menjadi orang yang selalu mencintai ilmu. Amin

Thanks to : Aveliansyah (http://aveliansyah.wordpress.com)